EBOLA: SEBUAH PERTANYAAN YANG BELUM TERJAWAB
Admin | Selasa, 30 Desember 2014
Bersembunyi dalam rimba pekat Afrika, mengancam nyawa penduduk asli di sekitar hutan hujan benua hitam, kemunculan Ebola yang mendadak menyadarkan manusia akan siapa yang sesungguhnya memegang kendali atas peradaban manusia di atas bumi. Di sepanjang tahun 2014 Ebola menjadi momok dunia modern dengan membunuh lebih dari 7.793 korban dan menyerang negara pesisir barat Afrika seperti Sierra Leone, Liberia, Mali, dan Nigeria.
Ebola adalah sebuah penyakit perdarahan yang disebabkan oleh sebuah spesies virus yang bernama Ebolavirus. Virus ini menyebabkan gejala demam, nyeri otot, sakit kepala berat yang muncul dua hari sampai 3 minggu setelah seseorang terinfeksi Ebolavirus. Kemudian, virus ini menyebabkan inflamasi berat yang berakhir dengan perdarahan di berbagai organ. Keadaan ini akan diikuti dengan kegagalan fungsi dan menyebabkan organ sehat lainnya ikut rusak. Pada tahap tersebut, korban akan menampakkan gejala muntah dan diare bercampur darah, dan kegagalan ginjal dan hati. Kematian umumnya terjadi antara enam sampai enam belas hari sejak gejala pertama muncul. Penyakit ini memilki angka kematian yang bervariasi antara 2590% dengan rerata sekitar 50% penderita.
Virus ini menular melalui cairan tubuh, baik ludah, darah,keringat, maupun muntahan dan feses. Penularan pada keluarga pasien seringkali terjadi pada saat perawatan pasien, pemandian jenazah, dan penguburan korban yang dilakukan tanpa pengamanan yang memadai. Pada awal setiap epideminya, lonjakan jumlah penderita terbesar diakibatkan oleh ketidaktahuan keluarga penderita dalam merawat pasien atau mayat pasien yang mengakibatkan tertularnya diri mereka sendiri.
Bahaya sesungguhnya dari Ebola bukanlah bagaimana virus ini dengan mudahnya menjangkit antara satu ke lainnya.Melainkan bagaimana penyakit ini menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat modern yang saling terkoneksi. Kepanikan massal pada daerah zona bahaya Ebola bukanlah sesuatu yang sulit dimengerti. Keluarga korban mengambil paksa pasien yang sakit disebabkan oleh rendahnya angka harapan hidup penderitanya. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana seorang nenek yang membawa cucu perempuannya yang terjangkit Ebola keluar dari Sierra Leone menuju Mali meninggalkan anaknya (ibu dari cucunya) yang sudah meninggal terlebih dahulu, dengan harapan mendapatkan pengobatan yang lebih layak. Alihalih, bukannya mendapatkan pengobatan, sang nenek harus merelakan cucunya meninggal dan memberikan dunia setumpuk masalah baru: puluhan orang yang bertemu dan terpaksa kontak dengan penyakit Ebola dari cucu perempuannya.
Pada saat outbreakdi Zaire pada pertengahan dekade 70an, begitu takut dan putus asanya masyarakat dan petugas medis, merekamengumpulkan seluruh pasien dan meninggalkan para pasien Ebola di dalam sebuah rumah sakit. Pada saat mereka kembali untuk melihat kondisi di tempat itu, mereka menyaksikan mayat yang membusuk, darah menggenang di lantai, goresan kuku penuh darah di pintu,aroma anyir di udara sekeliling mereka, dan akhir yang sementara dari sebuah epidemi.
Terlepas dari gelapnya cerita di atas, containmentmemang usaha paling tepat untuk menanggulangi penyakit menular yang mematikan.Pada keadaan dimana tidak ada terapi yang definitif, usaha untuk mengumpulkan semua orang yang sakit dan semua orang yang diduga terjangkit dalam area yang terpisah dari orang sehat dapat mencegah penularan sekaligus menghentikan wabah.
Para petugas medis seringkali menemukan kenyataan pahit saat mengejar kasus pasien yang dibawa paksa pulang oleh keluarganya dimana, desa pasien tersebut menjadi titikwabah Ebola baru, dengan jumlah korban yang tidak sedikit.Penularan terhadap petugas kesehatan menjadi momok yang sangat menakutkan karena kurangnya petugas medis yang ada dan kemungkinan menularkan penyakit ke orang yang tidak sakit. Sayangnya, pada epidemi tahun 2014 kurangnya peralatan pelindung diri untuk petugas menyebabkan hilangnya 365 nyawa paramedis. Jumlah ini tidak termasuk dengan terbunuhnya paramedis oleh keluarga pasien yang tidak puas atas meninggalnya keluarga mereka.
Penyakit Ebola sampai tahun 2014 masih dianggap sebagai kutukan, ilmu gelap, dan murka alam terhadap mereka. Sehingga tidak aneh jika keluarga pasien memaksa untuk memulangkan sang penderita, karena ilmu kedokteran barat diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak berguna dan membuangwaktu dan karena sang makhluk halus tidak dapat disingkirkan hanya dengan containment dan infus serta obat. Pasien ini harus dibawa menemui sang shaman di dusun mereka, didoakan, dalam ritual yang dipenuhi organ dalam hewan dan perangkat non steril. Pada akhir cerita, hampir seluruh pasien yang tidak beruntung ini meninggal, kemudian shaman yang terhormat ini pun terjangkit Ebola dan meninggal, lalu keluarga pasien yang merawat dengan penuh kasih saying dan kontak fisik juga terjangkit dan meninggal, dan anggota masyarakat di desa yang membantu proses pemakaman, dengan sangat menyesal, terjangkit Ebola dan meninggal.
Pada tanggal; 26 September 2014, WHO menyatakan bahwa epidemi Ebola tahun 2014 adalah keadaan darurat kesehatan masyarakat paling berat yang pernah dicatat dalam sejarah modern. Surat kabar Financial Times menduga dampak perekonomian yang disebabkan oleh wabah ini lebih besar daripada wabah itu sendiri. Penerbangan dari dan ke Afrika Barat dihentikan dan harga bahan makanan melonjak naik karena tidak ada distributor yang bersedia mengantarkan makanan ke daerah endemi. Sekolah dan fasilitas umum ditutup untuk mencegah penularan secara langsung. Toko dan swalayan dijarah karena warga kehabisan opsi untuk bertahan hidup dalam himpitan kebutuhan dasar (yang tentu saja diakibatkan oleh ditutupnya tempat bekerja untuk menghindari penularan antar pekerja).
Lalu pertanyaannya, kapan kita memiliki vaksin untuk Ebola? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita belajar dari kasus berikut: Kasus MERS (Middle East Respiratory Syndrome)pada akhir tahun 2013 kemarin yang menyebabkan kematian lebih dari 100 jemaah haji dan menyebarkannya ke negara asal.Mengapa MERS yang serupa dengan virus SARS ini tidak ada vaksinnya? Padahal virus ini menyerang pada suatu wadah yang berisi jutaan manusia dan dapat menularkannya kembali ke seluruh dunia. Jawabannya adalah karena perusahaan vaksin global telah belajar dari kasus SARS, dimana banyak perusahaan telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk riset, tetapi ternyata pengendalian dan containment pasien terbukti dapat menghentikan penyebaran penyakit SARS (walaupun dengan korban jiwa yang tidak sedikit). Sebagai akibatnya, pada kasus Ebola, perusahaan vaksin memilih untuk diam dan melihat bagaimana penyakit tersebut dapat dikendalikan sebelum mulai mempersiapkan modal untuk menciptakan vaksinnya. Jumlah korban, bukanlah sebuah variabelyang relevan dalam memperhitungkan penanaman modal inovasi vaksin baru.
Namundengan ancaman ekonomi global dan resiko penularan yang meluas, satu persatu stakeholder memutuskan untuk mengujicobakan vaksin Ebola mereka. Berbagai kerjasama organisasi nasional dan perusahaan farmasi dilakukan untuk mencari terapi dan vaksin. Pemberian ujicoba antibodi ZMapp terhadap pasien Ebola masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Sementara itu fase pertama vaksin Ebola oleh NIAID/GSK juga menyisakan berbagai pertanyaan kendati dinyatakan sukses membangkitan sistem imun terhadap komponen Ebolavirus. Hasil dari ujicoba vaksin tersebut akan difollow uppada awal tahun 2015 di beberapa negara Afrika untuk mendapatkan jumlah sukarelawan lebih banyak dan gambaran respons imun penduduk setempat. Beberapa keberhasilan ini kembali menyalakan harapan akan perlawanan, walaupun perlindungan nyata terhadap Ebola mungkin masih jauh di masa depan sana.
Hingga detik ini, epidemi Ebola masih belum berakhir. Virus hemoragik ini masih terus mengambil nyawa walaupun lajunya berkurang dengan containment yang semakin baik. Kejadian ini membuat kita semakin mawas diri dan introspeksi: Siapkah kita apabila spesies baru lain muncul? Apakah perusahaan vaksin dan organisasi kesehatan global bersedia untuk segera menangani apabila permasalahan serupa terulang kembali? Dan terakhir, bagaimana Indonesia dan khususnya Biofarma, sebagai perusahaan vaksin satusatunya di negara ini bersiap diri untuk melindungi warganegara terhadap ancaman biosafety sekelas Ebola di masa depan nanti?
Muhammad Iqbal Gentur Bismono
Tagged :